BENNY SOEBARDJA ; 5 Decades of The Godfather Indonesian Progressive Rock 1970-2021

 Almarhum Denny Sakrie dalam bukunya "100 Tahun Musik Indonesia" menyebutkan bahwa tumbuh suburnya anak-anak muda Indonesia untuk nge band dimulai sejak tumbangnya era Orde Lama sekitar akhir tahun 1965. Ada lima kota besar yang bisa dijadikan barometer mewabahnya band-band era itu yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan Medan. Berbagai macam band dari berbagai genre bermunculan ibarat kuda yang lepas dari kandangnya akibat dilarangnya musik "ngak ngik ngok" saat era Orde Lama. Aura kebebasan berkreasi dan berkarya seolah menjadi warna-warni pelangi musik Indonesia saat itu. Anak-anak band berlomba-lomba untuk menampilkan warna musik masing-masing meski tetap terpengaruh dari band-band idola mereka yang kebanyakan berasal dari Amerika dan Inggris.  

Dalam buku itu disebutkan bahwa sebenarnya sejarah musik progresif rock di Indonesia dimulai pada tahun 1966 saat Sabda Nada band dibentuk. Band itu anggotanya terdiri dari Pontjo Soetowo, Zulham Nasution, Gauri Nasution, Keenan Nasution, Ronald, Eddy dan Edit. Mereka mencoba menkawinkan musik barat dengan gamelan Bali yang dipimpin oleh I Wayan Suparta Widjaja. Konser pertama mereka berlangsung di Gedung Bank Indonesia Jakarta. Sepuluh tahun kemudian Sabda Nada berubah nama menjadi Gipsy dan ketika ada nama Guruh Soekarno Putra di dalamnya menjadi Guruh Gipsy.  Personilnya pun berubah yang terdiri dari Guruh, Keenan, Oding Nasution, Roni Harahap, Abadi Soesman dan Chrisye. Selain band di atas Jakarta juga melahirkan band Abbhama dan Rara Ragadi yang memainkan musik sejenis bahkan ada nama God Bless yang tidak melulu menkawinkan dua kutub musik yang berlainan. Di Surabaya tersebutlah Gombloh and Lemon Trees Anno '69 yang sama-sama mencampurkan musik barat dan etnik.  Dari Bandung tidak sah kalau tidak menyebut Gang Of Harry Roesli dan Giant Step.

Kenapa penulis ingin memfokuskan pada sosok Benny Soebardja bersama Giant Step-nya? Ya karena diantara semua band yang disebut sebelumnya sudah terkubur dan menjadi prasasti sejarah pergerakan musik progresif rock Indonesia. Memang God Bless masih eksis sampai sekarang namun wilayah progresif rock bukan menjadi utama lagi. Benny Soebardja lah yang saat ini masih setia mengibarkan warna progresif rock meski usia sudah tidak muda lagi namun energinya masih begitu membara. Penulis tertarik untuk menuliskan kembali ( sebelumnya sudah banyak media menuliskan ) kisah hidup serta perjalanan musikal seorang Benny Soebardja supaya bisa menjadi edukasi serta motivasi bagi musisi jaman milenial ini.

Benny Soebardja lahir pada tanggal 4 Juli 1949 di Tasikmalaya Jawa Barat yang merupakan anak ketiga dari pasangan Achmad Soebardja Pradjawisastra (alm) dan Kartini Wirasentika (almh) . Tak ada salahnya kita berkenalan dengan saudara-saudara lainnya. Anak pertama Ir. Hartiaman Soebardja (alm) seorang geologist, kedua dr. Deddy Soebardja yang pernah jadi bassis The Peels formasi awal, ketiga Benny Soebardja, keempat Ir. Rustiaman Soebardja, kelima Noer Sofyan Soebardja (alm), keenam Harry Soebardja (Giant Step, Rawa Rontek, Lipstick), ketujuh Taty Soebardja SH dan kedelapan Lina Soebardja SH (mantan penyanyi solo). Benny Soebardja kecil sudah tertarik main gitar sejak duduk di bangku SD gara-gara sering melihat tetangga teman kakaknya mahir main gitar. Mulailah dia mencoba mendekati orang tersebut dan minta diajari main gitar tapi justru dapat perkataan " ahh...kamu masih kecil." Mau tak mau akhirnya Benny kecil belajar main gitar secara otodidak.

Gairah bermusik Benny Soebardja semakin tak tertahankan, maka menginjak masa SMA mulailah dia membentuk band The Peels pada tahun 1966. Pada mulanya sang ayah tidak merestui anaknya untuk bermusik. Tapi ketika band nya mendapat undangan main di Singapura dan Malaysia pada tahun 1969, sang ayah akhirnya menyadari bahwa Benny Soebardja sangat serius bermusik akhirnya restu orang tua pun didapat. Periode itu The Peels sudah melanglang buana di panggung musik Singapura dan Malaysia. Musik yang dibawakan The Peels saat itu adalah lagu-lagu populer dari band-band luar negeri. Personil The Peels saat itu adalah Benny Soebardja, Gumilang Kentjana Putra, Budi Sukma Garna dan Dedy Budiman Garna. Kesuksesan The Peels di Singapura akhirnya membawa mereka masuk dapur rekaman bersama seorang penyanyi bernama Karliana Kartasa G. dan album tersebut dirilis dalam bentuk vinyl berjudul The Peels By Public Demand In Singapore

Selanjutnya mereka sepakat untuk menambah satu personil lagi, maka bergabunglah Soman Loebis. Tetapi masuknya personil baru ini justru mengakibatkan keluarnya Gumilang untuk bersolo karir di Singapura. Formasi baru tersebut tetap melanjutkan aksi-aksi mereka di Singapura dan Malaysia tetapi warna musik berubah lebih nge-rock dan psychedelic. Reportoar dari The Rolling Stones, The Beatles, Led Zeppelin dan John Mayall mulai mereka bawakan di atas panggung. Akhir tahun 1969 mereka merasa harus mengakhiri petualangan di negara tetangga karena merasa harus menyelesaikan studi SMA mereka bahkan waktu itu The Peels sampai menolak tawaran manggung di Jepang. Sesampainya di tanah air, sembari menyelesaikan pendidikan mereka masih eksis manggung di kota-kota besar Indonesia. Setelah meyelesaikan masa SMA, Benny pun melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung. Dengan berjalannya waktu pada akhirnya The Peels bubar juga dan dua personil selain Benny Soebardja dan Soman memilih berhenti bermusik.

Pada tahun 1970, Benny Soebardja dan Soman Loebis tetap melanjutkan karir bermusik mereka dengan membentuk band Shark Move dengan tambahan personil Janto Diablo, Sammy Zakaria dan Bhagu Ramchand. Mereka kadung jatuh cinta dengan aliran psychedelic dan sepakat menciptakan karya sendiri. Lahirlah album Gedhe Chokra's di tahun yang sama. Album ini pertama kali dicetak di Singapura dalam bentuk vinyl meski proses recording nya di Musica Studio. Art work pada kover album ini dibuat oleh Choqi Samantha dimana dia adalah salah seorang ilustrator yang bekerja di majalah Aktuil. Art work ini termasuk salah satu dari 100 art work terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone Indonesia. Pada perkembangannya album ini dimastering oleh Benny Soebardja di Studio Pendulum Jakarta kemudian melalui proses re-touch di Amerika dan dicetak dalam bentuk CD serta dijual dalam jumlah yang sangat terbatas. 

Sebelumnya, karena album Gedhe Chokra's ini hanya dirilis dalam bentuk vinyl ternyata di Indonesia banyak beredar bajakannya dalam bentuk kaset pita dengan kover hitam putih. Hal ini tentu membuat Benny resah sehingga berdua bersama Baghu Ramchand mendirikan label indie bernama BB Records. Dengan bendera BB Records ini Benny merilis album Benny Soebardja and Lizard dengan tambahan personil yaitu Albert Warnerin, Triawan Munaf, Harry Soebardja dan Haddy Arief. Materi lagu sebagian lagu baru ( Wanna Only You sempat menjadi hits radio Bandung saat itu) dan lagu-lagu yang diambil dari album Gedhe Chokra's. Kover menampilkan foto Benny dan Baghu, di dalamnya tercantum juga nama sponsor yaitu Stones Fashion dan album ini hanya dirilis dalam bentuk kaset pita. Tak lama setelah rilis ada kejadian tragis yaitu rumah kediaman Baghu mengalami musibah kebakaran dimana semua isi rumah habis ditelan api termasuk di dalamnya master asli Shark Move serta kaset pita yang belum sempat diedarkan. Betapa beruntungnya kolektor kaset (termasuk penulis) yang masih menyimpan kaset album itu karena merupakan harta karun musik tanah air tak ternilai. Bisa dikatakan album ini juga merupakan album indie pertama kali di tanah air. Nah, CD album Gedhe Chokra's yang penulis sebutkan di alinea sebelumnya masternya berasal dari vinyl 1st press. 

Seperti kita ketahui bersama, setelah rilis album Soman Loebis yang saat itu keterima kuliah di Institut Tehnologi Bandung justru memutuskan keluar dan pindah ke God Bless. Menurut wawancara Soman dengan majalah Aktuil, alasan dia terima tawaran God Bless karena musikalitas dia tidak berkembang sedangkan Benny Soebardja lebih fokus untuk mengeksplore musiknya di Grup Pecinta Lagu (GPL) Unpad dengan 40 orang personil. GPL Unpad sendiri waktu itu sibuk manggung campus to campus keliling Indonesia, Singapura dan Malaysia. Konsep yang dibawakan GPL adalah kelompok vokal grup yang diiringi ful band plus flute dan harmonika. Pernah main di TIM Ancol dengan dukungan sound system Lasika yang biasa dipakai AKA/SAS. Bahkan saat manggung di Singapura mereka terbang menggunakan pesawat charteran Pelita Air Service. 

Shark Move sendiri setelah rilis album Gedhe Chokra's tersebut sudah dibubarkan Benny dikarenakan pindahnya Soman Loebis ke God Bless. Pada tahun 1971 Benny memutuskan membentuk band baru dengan dukungan para musisi Deddy Stanzah (bass), Sammy Zakaria (drum) dan Jockie Suryoprayogo (keyboard) yang saat itu baru keluar dari God Bless. Mengenai asal usul nama band terdapat cerita tersendiri yang jarang diketahui oleh publik. Publik biasanya menkaitkan nama band dengan kejadian manusia mendarat pertama kali di bulan. " Padahal, nama itu dipilih karena tahun 1972 waktu mau manggung kami belum punya nama. Begitu saya lihat sticker di hard case gitar Remy Sylado yang tulisannya GIANT STEP, kami pilih nama itu," demikian kata Benny seperti dituturkan dalam salah satu artikel di majalah Rolling Stone. 

Terdapat suatu peristiwa yang sedikit banyak membawa perubahan pada personil Giant Step yaitu tewasnya Soman Loebis dan Fuad Hassan dari God Bless pada sebuah kecelakaan sepeda motor di daerah Pancoran Jakarta (1972). Tetapi sebelum peristiwa itu terdapat fakta menarik yang belum pernah terekspose media. Menurut pengakuan Benny, " beberapa hari sebelum wafat saya ketemu dia di Jl.Riau waktu saya sedang berangkat kuliah dan kita ngobrol selama satu jam. Soman sadar dan minta maaf telah meninggalkan Shark Move. Keberadaannya di God Bless justru mengganggu studinya karena jadwal show God Bless yang padat. Soman berencana pamitan dengan Achmad Albar dan berjanji untuk menghidupkan Shark Move atau Giant Step lagi. Tetapi ternyata Alloh punya rencana lain." Akibatnya Jockie pindah lagi memperkuat God Bless dan posisinya digantikan oleh Deddy Dores. Cabutnya Jockie juga diikuti oleh personil lainnya tapi tak lama direkrut personil baru yaitu Adhy Sibolangit (bass), Janto Soejono (drum) serta Albert Warnerin (gitar). Mau tak mau konsep musik mereka berubah jadi dua gitaris. Formasi ketiga inilah yang akhirnya berhasil masuk dapur rekaman melahirkan album Mark I pada tahun 1975. Album ini diproduksi oleh sebuah label indie Lucky Records pimpinan kakak iparnya Deddy Dores yang sebenarnya adalah fans berat Giant Step. Menurut penulis, album Mark I ini merupakan album kompromistis dari seorang Benny Soebardja yang idealis dengan musik progresif psychedelic nya. Sebagian besar materi lagu ditulis oleh Deddy Dores dengan Side A menampilkan pondasi musik Giant Step sesungguhnya. Terdapat lagu Fortunate Paradise dan My Life yang kelak merupakan lagu wajib Giant Step ketika beraksi di panggung sampai saat ini. Kakak ipar Deddy sebagai owner dari label memaksa memasukkan lagu-lagu mellow karangan Deddy ke dalam album yang masuk di Side B bahkan dengan embel-embel Pop Indonesia di kover kaset. Untuk memenuhi durasi pita kaset dimasukkan pula dua lagu yang dinyanyikan Ivone Susan yang musiknya digarap oleh Dorres Family. Materi album inilah yang membuat Benny sedikit kecewa tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena seluruh produksi album ini keluar dari kocek Deddy Dores. 

Giant Step 1976
Barulah idealisme bermusik seorang Benny Soebardja bersama Giant Step nya tersalurkan lewat album kedua Giant On The Move yang dirilis melalui SM Records tahun 1976. Di album ini personil mengalami perubahan dengan masuknya Triawan Munaf dan Haddy Arief menggantikan Deddy Dores dan Janto Soejono. Materi album yang terdiri dari sembilan lagu berbahasa Inggris semua itu benar-benar menampilkan jati diri Giant Step yang sebenarnya. Semua komposisi lagu progresif psychedelic dihidangkan tanpa memikirkan hidangan tersebut akan laku dibeli orang atau tidak. Penyebab utamanya adalah pemilik label rekaman yaitu Khat Hwan membebaskan Giant Step untuk meramu sendiri musiknya tanpa ada intervensi dari SM Records. Benny sangat puas dengan hasil album ini dan kelak kerjasamanya dengan SM Records berlangsung cukup lama.

Selanjutnya pada tahun 1977 dirilis album ketiga Kukuh Nan Teguh oleh label Nova Records. Menampilkan sebelas lagu yang masih tetap berkarakter progresif kuat meski durasi tiap lagu tak sepanjang pada lagu-lagu di album kedua. Tetapi kesuksesan musikalitas pada album ketiga ini justru berakibat mundurnya Triawan Munaf untuk melanjutkan studi ke London. Menurut media cetak mundurnya ayah Sherina ini karena merasa masa depan sebagai anak band kurang menjanjikan. Langkah Triawan selanjutnya diikuti Haddy Arief keluar dari dunia musik dan selanjutnya berkarir di dunia perbankan. Ditinggal para personil inti bisa dibilang Giant Step vakum sementara. Tetapi bagi seorang Benny Soebardja bukan berarti masa untuk berhenti berkarya yang dibuktikannya dengan merilis dua album solo secara berurutan yaitu Gimme a Piece of Gut Rock (1977) dan Night Train (1978). Kedua album solo tersebut dirilis oleh SM Records. 

Setelah berkarir solo, semangat Benny Soebardja untuk tetap menghidupkan Giant Step tak pernah padam. Masuknya sang adik Harry Soebardja serta Erwin Badudu ke dalam squad Giant Step menghasilkan album Persada Tercinta pada tahun 1978. Album ini dirilis oleh sebuah major label era itu yaitu Irama Tara. Seperti tak pernah kehabisan energi, kembali Benny merilis sebuah album solo yaitu Setitik Harapan pada tahun 1979 oleh Duba Records. Meski saat itu disebut-sebut pamor Giant Step sudah turun ternyata mereka tetap kukuh untuk merilis album yaitu Tinombala (1979) dan Volume III (1980). Kedua album ini masih dirilis lewat label Irama Tara. Sebelum vakum cukup lama dari dunia musik Benny sempat menghasilkan album solo berjudul Lestari yang dirilis oleh label Paragon Records pada tahun 1981.

Selama vakum dari dunia musik, Benny Soebardja sempat berkecimpung dalam dunia bisnis yaitu sebagai pengusaha furniture di Jakarta. Bisnisnya ini tidak tanggung-tanggung, sempat mengikuti Pameran di Singapura, Koln, UK, Dubai, Spanyol dan Belanda. Hand painted furniture karyanya pernah mengisi ruangan Hotel Boutique Dublin. Sebelumnya alumnus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran tahun 1979 ini bekerja di ICI Pestisida R&D sebagai agronomist pada tahun 1980 di Malang. Bahkan Giant Step pernah latihan di Malang saat akan manggung di Balai Sidang Senayan Jakarta. Lima tahun bekerja di Malang Benny pindah kerja di Monsanto di  bagian Research and Development antara tahun 1985 sampai 2000. 

Namun musisi tetaplah musisi, mungkin hal itu yang selalu ada dalam benak seorang Benny Soebardja. Pada tahun 1984 Benny mendapatkan kontrak untuk Giant Step dengan major label JK Records yang terkenal dengan kaset birunya. JK Records pada masa itu terkenal dengan spesialisasinya dalam memproduseri artis-artis pop dengan lagu-lagu super mellow. Mungkin saat itu semangat untuk kembali berkarya bersama Giant Step lah yang mengalahkan ego Benny untuk bergabung bersama label pimpinan Judhy Kristanto tersebut. Setelah mendapatkan kotrak rekaman untuk dua album, Benny segera menghubungi kawan-kawan lamanya. Orang-orang lama di Giant Step yang menyambut ajakan itu adalah Albert Warnerin, Erwin Badudu dan Triawan Munaf yang sudah cukup lama kembali ke Indonesia. Karena masih kurang personil akhirnya direkrutlah Oetje F. Tekol dan Jelly Tobing

Personil sudah komplit maka dimulailah proses recording materi baru untuk album baru. Ternyata permasalahan yang dialami Giant Step pada masa album pertama terulang lagi. Bos JK Records sebagai produser menuntut dimasukkannya lagu yang bisa komersil di pasaran. Bisa jadi karena tuntutan produser seperti itu mengakibatkan dalam proses kreatif album baru ini tidak ada satupun lagu ciptaan Benny. Semua lagu adalah ciptaan Triawan dan Erwin termasuk hits Geregetan yang diciptakan hanya dalam waktu satu jam. Kelak lagu ini dinyanyikan kembali oleh anaknya Triawan yaitu Sherina. Pada tahun 1985 dirilislah album Geregetan yang seharusnya menjadi momen kebangkitan Giant Step. Ada fenomena unik dari album ini, lagu Geregetan yang seharusnya jadi hits ternyata kalah pamor dengan lagu Lagu Perdamaian sehingga pihak JK Records sempat mencetak ulang kover dengan judul Lagu Perdamaian. Saat ini kaset album Giant Step dengan judul Lagu Perdamaian di kovernya menjadi barang koleksian yang langka. Di album inilah sebenarnya penulis baru mengenal Giant Step karena video nya pernah muncul di TVRI. Setelah penulis tanyakan kenapa tidak melanjutkan kontrak untuk album kedua, jawaban Benny " jujur saya kurang tertarik untuk melanjutkan kontrak dengan JK karena dari dulu saya lebih nyaman independent bermusik berdasarkan insting dan intuisi jujur spontan tanpa harus ada yang ngatur selera bermusik saya." Apakah album ini menjadi anti klimaks dari Giant Step ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin flash back ke belakang kembali untuk mengupas seorang sosok yang mempunyai peran penting dalam perjalanan musikal Benny Soebardja. Dia adalah Bob Dook yang berperan dalam penulisan semua lirik berbahasa Inggris baik dalam album solo Benny maupun di Giant Step. Sosok Bob Dook sendiri diceritakan kembali oleh Benny sebagai berikut. "Bob Dook adalah geologist sahabat almarhum abang saya Ir. Maman yang juga seorang geologist alumni ITB. Abang saya selalu mengundang Bob ke Bandung untuk liburan weekend RIG di laut Jawa. Suatu saat saya ajak nonton konser Giant Step formasi Mark I di Bumi Sangkuriang. Bob tertarik dengan musik Giant Step lalu dia menawarkan lirik Childhood And The Sea Bird (bercerita tentang masa kecil Bob di UK) dan A Fortunate Paradise (tentang rasa kagum Bob akan hutan Kalimantan). Setelah saya buat lagunya malah keterusan sampai lirik lagu Decision. 

Bagi Bob, musik Giant Step tak seperti kebanyakan band Indonesia saat itu. They're the best progressive rock music in Indonesia, ahead of its time. "Kalau mereka memainkan musik Deep Purple saya tak akan mengenal dia. Mungkin setelah kenal dia setelah itu saya akan bilang, hey Benny nice to meet you." Jadi Bob ini sebenarnya seorang yang hoby menulis puisi untuk sekedar memenuhi kepuasan psikologisnya saja. Pertemuan pertama antara Benny dan Bob setelah sekian lama berpisah terjadi pada 26 Februari 2009 yang difasilitasi oleh majalah Rolling Stone. Lebih lanjut Benny bercerita tentang kejadian yang menimpa mereka setelah pertemuan itu. "Pada tanggal 2 September 2012 saya terkena serangan jantung yang nyaris merenggut nyawa saya. Ternyata dua tahun sebelumnya, di tanggal dan bulan yang sama Bob juga terkena serangan jantung sampai harus pasang ring."  Peristiwa inilah yang menginspirasi mereka untuk menulis lagu 2nd Life. Para pembaca bisa menyimak lagu tersebut di video berikut ini.

Setelah era album Geregetan tahun 1986, memang Benny beserta Giant Step seolah-olah hilang ditelan bumi pertiwi. Benny merasakan selama menjalani karir bermusiknya belum pernah mendapatkan tempat yang layak di scene musik rock tanah air. Itu dikarenakan dia selalu menjalankan alur musiknya secara independen dan nyaris tanpa kompromi. Kekecawaanya terhadap industri musik mainstream membuatnya melaju sendiri demi terbebas dari sikap diktator major label, yang akhirnya membuat namanya seolah terlupakan. Hingga pada medio 2012 seorang warganegara Kanada bernama Jason Connoy yang juga pemilik label Strawberry Rain merilis sebuah album kompilasi yang berisi materi-materi lagu di tiga album solo Benny dan diberi judul The Lizard Years. Album ini dirilis dalam bentuk CD dan vinyl dan telah sold out !! Proses dimulai dari pengumpulan lagu dari kaset-kaset yang masih berkualitas bagus (karena master asli sudah lenyap) kemudian baru di remastered, dan semua itu membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Maka Benny sangat mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Jason karena merasa bahwa lagu-lagu tersebut ibaratnya sudah terbuang di negeri sendiri. Dan saat ini ada orang luar negeri yang berusaha memunculkan kembali lagu-lagu usang miliknya untuk diperdengarkan kepada khalayak khususnya generasi sekarang.

Seolah bangkit dari kuburnya, pada tahun 2017 Giant Step secara mengejutkan kembali merilis album baru berjudul Life's Not The Same. Album ini dirilis oleh Rockpod Records Singapore dan Vestibutor Records USA dan diedarkan dalam bentuk kaset pita, CD serta vinyl. Materi dalam album ini semuanya baru dan berbahasa Inggris dimana peran Bob Dook dalam penulisan lirik kembali hadir. Giant Step formasi 2017 ini selain Benny juga diperkuat Debby Nasution (alm) pada keyboard, Johanes Jordan Sebastian pada gitar Audi Adhikara pada bass dan Rhama Nalendra pada drum yang juga merupakan putra kedua Benny. Album baru ini merupakan pembuktian bahwa tidak ada istilah anti klimaks buat Benny serta Giant Step. 

Giant Step 2017

Pada suatu kesempatan, penulis berhasil menghubungi seorang gitaris jazz legendaris tanah air yaitu Donny Suhendra. Donny Suhendra pada tahun 1973 pernah diajak berperan dalam konser bertajuk Musik Hidup Benny Soebardja di Gedung Merdeka Bandung. Saat itu konsepnya tiga gitaris yaitu Benny, Harry Soebardja dan Donny Suhendra yang pada waktu itu masih berusia 17 tahun. Penulis berbincang cukup lama dengan Donny via telepon terutama membicarakan proyek musik yang saat ini sedang dikerjakan bersama idolanya Benny Soebardja. Pendapat Donny tentang sosok seorang Benny Soebardja adalah sebagai berikut :

Di masa pandemi covid19, suami dari Dra. Tria Julianty , ayah dari Ir.Anggara Rhabeta, MSc. dan Rhamaditya Nalendra serta kakek dari dua orang cucu ini nyaris tanpa kegiatan bermusik di panggung. Benny juga ikut tergabung dalam WAG Indonesia Mahardika dimana menurutnya banyak sekali musisi muda yang potensial bermain progresif rock dan punya karakter konsisten dan independen. Tapi bukan Benny Soebardja jika menyerah dengan keadaan. Dibantu Donny Suhendra, Benny sedang mempersiapkan sebuah album solo yang nantinya akan berisikan lima lagu baru dan lima lagu lama. Pemilihan judul album antara Benny Soebardja is Stepping Back 1970-2021 atau 2nd Life masih menjadi pertimbangannya. Atau mungkin pembaca bisa turut andil memberikan vote diantara kedua judul tersebut?? (silakan ketik di kolom komen di bawah artikel ini). 

Pesan khusus Benny Soebardja sekaligus mengakhiri artikel ini adalah, " sabar, tawakkal dan konsisten. bermusik secara konsekuen dengan mengikuti kata hati dan insting yang natural. Dan berdoa terus semoga pandemi covid19 cepat berlalu dan Indonesia sehat kembali serta jangan ragu untuk divaksin."


Sumber bacaan :

  1. Artikel Denny MR., Rolling Stone, 2008
  2. Artikel Sholeh Solihun, Rolling Stone, 2009
  3. Denny Sakrie, 100 Tahun Musik Indonesia, 2015
  4. Booklet The Lizard Years, 2012
  5. Up close and personal interviews with Benny Soebardja.
  6. Sumber-sumber lainnya.






Posting Komentar

1 Komentar

  1. HoF Legends is our in-game merchandise collection characteristic and has quickly become the preferred addition to our free slot video games. Upgrade your collection of legendary legendary beings by amassing chests and tokens. You'll receive a daily bonus of free cash and free spins every time you log in, and might get} much more bonus cash by following us on social media. You can obtain the free House of Fun app in your mobile phone and take all of the 점보카지노 fun of the casino with you wherever you go!

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)