REKAMAN atau ASAL REKAMAN?

Terbayang di era 60 sampai awal 2000 an, jika ada artis solo maupun band akan rekaman prosesnya ribet dan tentu saja dengan biaya mahal. Jaman masih serba analog, master recording menggunakan pita rel besar dengan proses panjang untuk meminimalisir kesalahan selama proses rekaman. Tentu saja hal ini dibarengi dengan panjang pendeknya sewa per shift studio rekaman yang tak murah. Maka di era itu tak sembarang artis/band bisa rekaman. Semua itu tergantung mau tidaknya produser menggelontorkan dana yang tak kecil untuk memproduksi album tersebut. Hal itu tak terlepas dari insting sang produser dalam membaca situasi pasar serta trend musik saat itu. Hingga tak jarang band yang sudah rekaman sekian album tidak mempunyai master rekaman. Untuk menghemat biaya, biasanya sang produser menimpa ulang master yang masih berupa pita rel besar dengan hasil rekaman baru.


Di era jayanya penjualan rilisan fisik tersebut, seorang produser mungkin masih bersedia untuk gambling terhadap selera pasar. Di Indonesia sendiri bisa dikatakan selera musik masyarakat atau trend musik lebih banyak ditentukan oleh para produser. Angkatan 80 an tentu masih ingat ada istilah mafia kaset Glodok. Jadi saat itu Pasar Glodok Jakarta merupakan tempat berkumpulnya para cukong alias produser musik. Di tempat itu perdagangan karya-karya lagu bagaikan jual beli kacang goreng. Pas lagi musimnya lagu pop yang mendayu-dayu sebuah band rock tangguh pun bisa dipaksa merilis album pop. Begitu juga saat musim dangdut booming sebuah band rock bisa dipaksa merilis album dangdut. Jadi jika ada artis/band ingin rekaman ya harus nurut kemauan produser. Itulah uniknya Indonesia.


contoh produk rilisan analog dengan proses digital
(koleksi pribadi)

Berbicara soal kualitas rekaman, penulis ingin membagi dalam dua masa yaitu masa analog dan masa digital. Pada masa analog selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas (mastering, bea studio) masih banyak hal yang harus disiapkan. Sound engineering, music director atau vocal director untuk mempoles karakter suara penyanyi sangat berpengaruh terhadap kualitas rekaman. Belum lagi fotografer atau art worker untuk keperluan bentuk rilisan fisik nantinya. Memiliki rilisan fisik rekaman bukan hanya mendengarkan lagu saja tetapi juga melihat kovernya. Laku tidaknya rilisan fisik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tampilan kover. Equipment baik alat-alat musik pengiring artis/band maupun fasilitas studio juga sangat berpengaruh terhadap kualitas rekaman. Jaman itu sih menurut penulis di Indonesia belum ada yang namanya equipment KW...hehe....

Pada medio awal tahun 2000an, sistem digital sudah mulai digunakan beberapa studio rekaman di kota-kota besar tanah air. Proses rekaman jadi lebih praktis meski biaya rekaman juga masih mahal. Meski equipment serba digital tapi banyak artis/band melakukan ritual lama sehingga hasil rekamannya juga mempunyai kualitas tinggi. Seiring dengan bertambahnya tahun dan pesatnya perkembangan tehnologi digital proses rekaman terjadi perubahan yang begitu drastis. Menjamurnya software rekaman yang diperjual belikan secara bebas merubah situasi tersebut. Hanya dengan bermodalkan komputer serta alat mixing sederhana plus software seseorang bisa bikin studio rekaman rumahan. Tapi pertanyaannya adalah ; apakah dengan kemajuan dan kemudahan tehnologi ini kualitas hasil rekaman bertambah baik? atau bahkan malah makin buruk? Dalam artikel ini penulis tidak akan men-judge soal out put rekaman era digital ini dengan kualitas beragam. Penulis lebih menekankan pada segi esensi pembuatan karya.


contoh produk rilisan digital dengan proses digital
(koleksi pribadi)

Jujur, sebenarnya penulis membuat artikel ini berawal mula dari pertanyaan menggelitik dari seorang pemusik milenial " masih pentingkah saat ini sebuah band membuat album? ". Saat itu penulis menjawab " ya bisa penting dan tidak penting tergantung alasannya ". Alasan merilis album inilah yang menjadi inti artikel ini dimana ujungnya akan berkaitan dengan kualitas sebuah album. Pada prinsipnya ada beberapa hal yang menjadi alasan seorang artis atau mungkin penulis ingin mengkerucutkan sebuah band saja, supaya lebih spesifik.

Alasan PERTAMA, salah satu anggota band (biasanya frontman) sudah mempunyai stok lagu banyak sehingga merasa sayang kalau lagu-lagu tersebut tidak didokumentasikan dalam sebuah album. Maka berbagai upaya akan ditempuh supaya terwujud sebuah album yang berisikan karya band tersebut. Bisa rekaman di studio besar ataupun studio rumahan. Bentuk rilisan fisiknya juga bermacam-macam bisa berupa kaset pita (mulai trend lagi sekarang) ataupun berupa CD dengan kemasan beragam pula.
Alasan KEDUA, ada label entah itu label kecil ataupun besar yang tertarik dengan kemampuan musik suatu band dan akhirnya menyediakan dana untuk menghasilkan sebuah album. Karena sudah terikat kontrak, mau tak mau band harus menghasilkan album. Hal ini bisa terjadi dengan band baru ataupun band lama yang sudah pernah menghasilkan album sebelumnya. 
Alasan KETIGA, idealisme bagi seniman dalam hal ini seorang musisi tau band dimana menghasilkan suatu karya bagi seniman/musisi adalah mutlak. Apapun bentuknya ataupun kualitasnya yang penting band sudah menghasilkan album tidak penting apakah album itu bisa dinikmati orang lain atau tidak yang penting orgasme bermusik sudah mencapai puncaknya.
Alasan KEEMPAT, bagi band baru berusaha terjun dalam industri musik dan bagi band lama berusaha tetap eksis dalam industri musik tanah air. Artinya band-band tersebut berupaya serius menggarap karyanya untuk bisa dinikmati khalayak dan sukur-sukur bisa menghasilkan profit bagi band meski sisi idealisme turut andil dalam proses penciptaan karya. Nah, jika alasan ini yang dipakai hendaknya segala aspek harus diperhatikan mulai dari kualitas sound, kemasan fisik rekaman bahkan marketing plan juga harus dipikirkan. Tujuan band merilis album ini kan supaya bisa dinikmati khalayak luas jadi bagaimana tampilan fisik bisa menarik penikmat musik dan layak dibeli dan dikoleksi. Peluang pasar juga harus diperhatikan jangan sampai dana dan energi yang sudah dikeluarkan suatu band, rilisan fisiknya hanya numpuk di gudang. Aspek marketing atau selera pasar ini memang susah diprediksi terutama bagi band yang baru rilis album. Mungkin pembaca masih ingat kasus Kangen band yang melejit tenar hanya gara-gara lagu rilisan mereka dirilis secara bajakan dan banyak kasus artis-artis lain. Bagi band lama yang sebelumnya sudah menghasilkan beberapa album biasanya album berikutnya memang sudah ditunggu bagi para penggemar militannya. 

Sepertinya hanya empat alasan utama yang ada di kepala penulis saat ini, bagi yang ingin menambahkan silakan ketik di kolom komentar...hehe.... Sebelum mengakhiri artikel sederhana ini penulis berhasil memaksa dua orang musisi metal legendaris tanah air yang sudah lama malang melintang di dunia industri musik baik itu dunia panggung maupun rekaman untuk memberikan sedikit opini terkait artikel ini. Mari kita simak bersama.


Siksa Kubur's Andre Tiranda
photograph by AdiSulistyanto


Kontak pertama saya dengan rilisan fisik tentu saja berawal dari koleksi kaset dari abang dan kakak perempuan saya, juga dari kaset2 yg di putar di radio saat itu, tepatnya awal 80 an , jujur aja kualitas rekaman adalah hal kesekian yg saya pedulikan. Hal pertama pasti ada di lagu nya, nada2 vokal yg catchy dan juga aransemen music yg akrab ditelinga itulah yg membuat saya tertarik untuk Kembali mendengarkan lagu tersebut, sebut saja lagu macam So Lonely [The Police], atau Ruby Tuesday [Rolling Stones] , Hotel California [The Eagles] sampai lagu kayak Illegal Allien [Genesis] atau Jump [Van Halen] adalah beberapa dari sekian banyak lagu yg langsung akrab di telinga saya yg masih berusia sangat muda, kiraan masa 9 sampai 12 tahun .

Hal yg kurang lebih sama Ketika pertama bersentuhan dengan music yg lebih ekstrim. Kualitas rekaman juga bukan hal yg paling utama saya perhatikan, meskipun kuping sudah bisa memilah2 juga perbedaan signifikan di band2 thrash/death metal. Tapi itupun tidak merubah pandangan saya terhadap kualitas sebuah album atau band. Contohnya album Fragments Of Insanity [Necrodeath] atau Schizoprenia [Sepultura] yg kalau dibandingkan dengan band2 modern metal ya tentu aja terdengar primitive . Tapi menurut selera saya pribadi justru itulah indahnya perbedaan konsep musical yg bisa didengar dari perbedaan sound atau produksi hampir rata2 band saat itu, bahkan setiap album dari band yg sama pun pasti ada perbedaan mencolok, contoh Metallica dari Kill em All sampe sekarang ya sound nya beda2 atau Megadeth , Rust in Peace sama Countdown to Extinction aja bedanya sangat mencolok, dan Youthanasia pun beda lagi, padahal personil nya sama persis Dan banyak lagi lah band2 lainnya

Di era digital seperti sekarang ini justru yg terjadi adalah banyak band yg ingin mencapai “kesempurnaan” dalam produksi nya seiring dengan berkembangnya teknologi rekaman yg luar biasa canggih nya, bahkan band penting macam Meshuggah di album “Catch 33” merekam drum sepenuhnya dengan software EZDrummer , dan banyak lah yg kayak gitu, dan secara kualitas produksi band2 metal modern terdengar “monoton” dan hampir mirip2 aja band yg satu dan lainnya , dan bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi seluruh dunia ..tapi ini pendapat saya pribadi sih . semua terdengar begitu “sempurna” dan “steril” , ga ada lagi unsur “raw” dan ‘ugal ugalan” macam Once Upon The Cross [Deicide] , Eaten Back To Life [Cannibal Corpse] atau Pleasure to Kill [Kreator] yg justru membuat saya jatuh cinta sama genre ini .
Untuk saya pribadi mendokumentasikan music atau karya apapun yg kita lakukan, lakukanlah semampunya dan jangan sampai menghilangkan kesenangan bermain music. Kalau memang sanggupnya demo live atau pun rekaman dengan fasilitas seadanya atau di studio paling primitif yg bisa terjangkau dengan kantong kalian, hajar aja. Hasil bagus jangan digantungkan dari teknologi dan berapa besar biaya rekaman kalian, tapi dari keseriusan kalian Latihan dan mempelajari instrument kalian, dan pastinya konsep music yg kalian usung. Morbid Vision [Sepultura] atau Show No Mercy [Slayer] mungkin bisa jadi referensi …
Hasil yg bener-bener “bagus” pasti akan datang seiring keseriusan dan perjalanan bermusik masing2 band kok, karena “bagus” itu sangat sangat “subjektif’ . Bagus versi “Anal Cunt” pasti beda dari “Obscura” atau NOFX . Tapi apa itu mengurangi kredibilitas dan nilai karya seorang musisi/band ? menurut gue sih enggak … tapi lagi2 ini pendapat pribadi. Jadi kesimpulan nya , apapun hasilnya saat itu ya lakukan aja, karena seharusnya mendokumentasikan musik itu ga bisa lepas dari proses bermusik itu sendiri, dari terdengar “butut” sampe terdengar “layak” seharusnya lewat proses yg organik … tapi lagi lagi ini hanya pendapat pribadi saya ….(ANDRE TIRANDA)


Death Vomit's Sofyan Hadi
photograph by Dody Gerbans
Mendokumentasikan lagu bagi seorang musisi adalah penting apapun tujuannya. Sekedar demo, single atau dalam bentuk album. Tapi bagaimana cara pendokumentasian itu agar menjadi karya yang layak dinikmati baik oleh diri sendiri atau orang lain itu yang harus digarisbawahi. Mau dengan cara-cara kolonial atau milenial bukan menjadi masalah. Kadang kita mendengar aransemen lagu bagus tapi eksekusinya gagal. Output yang tidak nyaman, sound yang kurang balance.. dan sebagainya. Atau produksi audionya berhasil tapi dikemas asal-asalan, bahkan untuk sebuah album. 
Di era sekarang semua serba dimudahkan. Produksi audio tidak harus dengan cara analog kuno, banyak software digital yang bisa memfasilitasi produksi audio yang bagus. Ditambah dengan banyaknya platform digital sekarang yang bisa menjadi media promosi dan komersial untuk memperkenalkan dan menjual lagu. Semua bisa dimanfaatkan sesuai dengan kemampuan musisi. Tinggal bagaimana si musisi bisa memproduksi karyanya sehingga bisa nyaman dan layak diterima publik. Jangan berharap karya kita akan dihargai orang apabila kita tidak bisa menghargai karya kita sendiri.(Sofyan Hadi)

Penulis juga ingin mengutip sebuah quote yang menarik dari seorang sahabat. Beliau adalah dosen ilmu hukum di sebuah perguruan tinggi Negeri dan juga seorang penulis buku serta pemerhati musik yaitu mas Manunggal K. Wardaya, quote nya adalah : " tak ada musik yang norak" 

Pada akhirnya semua kembali kepada musisi/band itu sendiri, apa tujuan untuk menghasilkan sebuah karya apapun genre musik yang dimainkan. Mau rekaman (serius) atau sekedar rekaman? Jawabannya ada di anda sendiri..... sekian terima kasih.


Supported by

Posting Komentar

0 Komentar